TIMES TRENGGALEK, MAGELANG – Delapan tahun sudah perjalanan World Wayang Way (WWW) mewarnai panggung seni tradisi di Indonesia.
Dalam kurun waktu sewindu tersebut, banyak kegiatan yang digagas oleh para pelaku seni lintas generasi. Salah satunya adalah, Sanggar Kinnara Kinnari. Sebuah sanggar yang telah menjadi ruang penting bagi pelestarian dan regenerasi budaya wayang.
Sebelum praktik, anak-anak terlihat antusias mendengarkan penjelasan, ara membuat wayang dari kertas. (FOTO: Hermanto/ TIMES Indonesia)
Tahun ini, dalam rangka memperingati Hari Wayang Dunia dan Hari Wayang Nasional, yang bertepatan pada Jumat, 7 November 2025, Sanggar Kinnara Kinnari kembali menggelar rangkaian kegiatan bertema 'Hal Ikwal Wayang'.
Mengusung semangat keberlanjutan, kegiatan ini secara khusus melibatkan anak-anak dan remaja agar nilai-nilai luhur wayang tetap hidup di tengah derasnya arus modernisasi.
Pendiri Sanggar Kinnara Kinnari, Eko Sunyoto, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari Bulan Bakti Wayang. Kegiatan ini merupakan sebuah gerakan untuk memperkenalkan wayang sebagai Warisan Budaya Takbenda (Intangible Cultural Heritage) kepada generasi penerus bangsa.
“Wayang bukan hanya karya seni, tapi juga sarana pendidikan moral dan karakter. Seperti pepatah Jawa ‘Mulat sarira hangrasa wani, rumangsa handarbeni, wajib melu angrungkebi, berani mawas diri, merasa ikut memiliki, dan wajib menjaganya,” jelas Eko, Jumat (7/11/2025) dari sanggar Kinnari Kinnari miliknya di Tingal Kulon RT 02 RW 02 Wanurejo, Borobudur.
Selama sewindu perjalanannya, World Wayang Way telah menjadi ajang yang konsisten menumbuhkan kecintaan terhadap budaya wayang di kalangan generasi muda.
Pada kesempatan tahun ini, beragam kegiatan digelar, mulai dari workshop dan melukis wayang, pentas dolanan wayang, laku wayang, hingga pementasan wayang orang. Semua kegiatan dikemas secara kreatif dan edukatif.
Eko menegaskan, tantangan terbesar dalam menjaga eksistensi wayang di era digital bukan sekadar mempertahankannya, tetapi bagaimana menghadirkannya dengan cara yang relevan bagi kehidupan anak muda masa kini.
“Edukasi budaya harus dikemas kreatif dan dekat dengan keseharian, termasuk lewat bahasa ibu sebagai media pengenalan nilai-nilai budaya,” ujarnya.
Melalui kegiatan ini, Eko berharap semangat dan nilai-nilai yang terkandung dalam wayang tidak menjadi cerita masa lalu, tetapi terus hidup dan berkembang dalam jiwa generasi masa depan. “Kami ingin wayang tetap eksis dan mampu menjawab tantangan zaman, tanpa kehilangan jati dirinya,” tutupnya penuh harap. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Delapan Tahun World Wayang Way: Dari Panggung ke Pendidikan Karakter
| Pewarta | : Hermanto |
| Editor | : Ronny Wicaksono |